“Teknologi, Demokrasi dan Perlindungan Konsumen” Oleh: Gita Wirjawan, MPA., MBA. (Menteri Perdagangan RI) Moderator: Prof. Hermawan K. (dekan Fakultas Teknologi Industri)


Selain berisi kuliah Studium Generale, pada pertemuan kali ini juga akan dilakukan penandatangan piagam kerja sama antara Kementrian Perdagangan dengan Institut Teknologi Bandung tentang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat di bidang perdagangan. Penandatanganan dilakukan pada awal kuliah setelah sambutan dari rektor ITB Prof. Akhmaloka, PhD. Bapak Akhmaloka melakukan penandatanganan piagam kerja sama dengan Sekjen Kementrian Perdagangan, Bapak Gunaryo, dengan disaksikan oleh Bapak Gita Wirjawan.

Resume Kuliah:
Zaman sudah banyak berubah, pada tahun 60an Korea hanya mengonsumsi kurang dari 20kg baja/orang/tahun. Ke depannya, tahun 2012 konsumsi baja Korea sudah mencapai lebih dari 1200 kg baja/orang/tahun. Korea sekarang menjadi bangsa yang bisa memproyeksikan teknologi. Contohnya juga gangnam. Tidak banyak negara yg bisa memproyeksikan kepiawaian teknologi dengan budayanya.
Di Amerika Serikat, Steve Jobs, memproduksi beberapa produk yang sangat kaya akan inovasi. Biaya produksi iPhone kurang lebih 10 dollar, jadi biaya manufaktur di Tiongkok untuk memproduksi iPhone/iPad sekitar 10 dollar, sedangkan di toko dijual sebesar 400 dollar, 390 dollar-nya adalah nilai inovasi, bukan “keringat”. Tren abad 21 adalah dimana kita bisa membuahkan produk yang inovatif bukan “produk keringat”. Semakin produk berinovasi, maka semakin bsa merangkak di rantai nilai, semakin menghasilkan produk dengan nilai tambah, semakin bangsa kita akan bergengsi di kancah internasional. Ekonomi indonesia hanya 1,5 % dr total ekonomi dunia. Di dunia kurang lebih ada 185 negara. Bagaimana kita posisikan Indonesia di dunia yang sudah berubah ini.

Orang seperti Steve Jobs dan negara seperti Korea memulai segalanya dari mimpi, pada tahun 60-70an Korea sulit sekali mengembangkan indusrti terutama manufaktur. Namun mereka berparadigma untuk menjadi industri manufaktur yang solid, harus menjadi eksportir yang paling efisien, bukan hanya di dalam negeri tapi juga di dunia. Dukungan dari pemerintah Korea sangat solid. Siapapun yang mau membangun pabrik baja akan diberi pinjaman dengan bunga yang lebih murah, dibebaskan pajak beberapa tahun, yang mengekspor akan diusahakan destinasinya dimudahkan, sedangkan importir baja akan dipersulit.

Namun dunia telah berubah, komunitas internasioanl dari sisi perdagangan di supervisi oleh World Trade Organization, siapapun harus membuka lebar pintunya untuk masuk maupun keluar bagi barang dan jasa. Tarif ke Indonesia kurang lebih 6,5 %, angka tersebut lebih rendah dibandingkan India maupun Tiongkok. Jadi kita sudah relatif lebih liberal dibanding negara besar atau berkembang lain. Namun kita tidak mempunyai kekuatan manufaktur, teknologi, dan apapun untuk bersaing dengan Tiongkok dan India. Di negeri ini kekuatannya ada di luar sektor manufaktur, seperti rokok, perbankan, minyak goreng, batu bara, kelapa sawit. Adakah yang bisa memproduksi komputer lebih murah dari Lenovo, handphone yg lebih bagus, cantik, dan murah dari Galaxy, atau mobil yang lebih canggih dr Toyota. Dari sisi probabilitas anak ITB lah yang bisa nyambung dari cerita ini untuk menciptakan produk-produk tersebut.  Namun porsinya tentu harus benar, kebijakan harus benar dari sisi fiskal.  Siapapun yang akan meproduksi produk yang membanggakan harus diberi insentif fiskal seperti tidak perlu bayar pajak, atau pembayaran pajak diundur. Policy perindustrian pun harus jelas, kembangkan kavling mana yang harus di-create agar bangsa ini menjadi bangsa yang berbangga, tentu tidak akan memakan waktu yang sebentar,  perlu waktu 10 sampai 20 tahun.

Maka 20 tahun dari sekarang, Insya Allah ekonomi Indonesia menjadi posisi 5, 6 atau 7 sekarang sudah pada posisi 15. Hal ini dengan asumsi linier, populasi kaya demografik, 60% populasi di Indonesia adalah usia di bawah 39  tahun. 50% dibawah 29 tahun, dengan profil reproduksi baik, pada 10-15 tahun kedepan, profil demografi kita akan tetap seperti sekarang. Konsumsi baja Indonesia adalah 30-35 kg/orang/tahun, salah satu indikasi bangsa modern yaitu konsumsi bajanya adalah 500 kg/orang/tahun. Konsumsi baja maksudnya penggunaan mobil, pesawat, tank, dll inilah yang mengindikasikan konsumsi baja. Kita harus jadi bangsa yang relevan, kita harus bangga berbangsa, kalau mau meningkatkan konsumsi baja ke 500 kg, kalikan 500kg/orang/tahun dengan 250 juta orang, sehingga butuh sekitar 125 juta ton kapasitas produksi/tahun.

Krakatau Steel kapasitasnya adalah 3 juta, ini yang terbesar di Indonesia. Total nasional sekitar 6 juta. Krakatau Steel sudah bermitra dengan suatu perusahaan baja dari Korea yang dulunya pada thn 60-70an sama dengan Krakatau Steel, produksinya hanya sekitar 3 juta, tapi selama 30 tahun produksi mereka meningkat menjadi 40 juta ton karena dukungan pemerintah. Jika kita harus mencapai 125 juta ton kita harus multiplikasi Krakatau Steel kurang lebih menjadi 40 kali lipat. Meningkatakan 1juta  ton kapasitas produksi/tahun butuh 1 miliar dollar. Jadi untuk 125 juta ton butuh 125 miliar dollar, 125 miliar dollar atau Rp.1250 triliun ada tidak? Dalam konteks ekonomi kita yang sebesar 1 triliun dollar, maka untuk mendapatkan 125 milyar dollar adalah hal yang mungkin.

Konsumsi sapi kita sekitar 2,2 kg/orang/tahun, di Jerman 45 kg/org/tahun karena itu mereka bisa membuat produk mobil-mobil yang tangguh karena banyak sekali konsumsi proteinnya. Oleh karena itu, bagi yang ingin jadi pengusaha, jadilah pengusaha sapi, tidak perlu seperti Jerman sampai 45 kg, jika meningkatkan konsumsi sapi menjadi 20 kg/org/tahun, dengan jumlah penduduk 250 juta dan harga sapi sekitar Rp70.000/kg dikali 250 juta orang,  dikali 20 kg/orang/tahun, kurang lebih bisnis ini akan menghasilkan 35 miliar dollar/tahun. Tinggal bagaimana memikirkan lahan, teknologi ternak, pembibitan, pembenihan dsb. juga pendanaan dsb.

Kalau ekonomi kita tahun lalu adalah 1 triliun dollar, jika diekstrapolasi dengan rate of growth 5%, inflasi 5%,  selama 20 tahun akan menjadi 6-7 triliun dollar pada tahun 2033. Kalau diakumulasi ekonomi selama 20 tahun kurang lebih sebesar 60 triliun dollar. Asumsi 60% terkait dengan konsumsi domestik, jadi kumulatif konsumsi domestik adalah 36 triliun dollar. Jangan sampai semua dari 36 triliun dollar terkait dengan barang dan jasa yang di buat diluar, tidak bisa buat sendiri, hanya menonton saja, kebijakan dari pemerintah tidak mendukung agar konsumsi terkait barang dan jasa yang di buat di dalam negeri, tidak bisa kompetisi dengan produk tetangga dan negara lain, tidak bisa membuahkan pengusaha yang bisa membanggakan negara, 20 tahun itu cepat sekali, kita harus bermimpi.

Steve Jobs pernah memberi pidato di Stanford, salah satu quotenya adalah be foolish make mistake, dari kesalahan kita banyak belajar. Agak kontradiksi, namun jika tidak membuat kesalahan kita tidak akan tahu sejauh mana, dan tidak bisa jadi wirausahawan. Kebijakan apapun agar industri manufaktur menjadi industri yang kuat sekali, harus disertai pendanaan yang diperkuat,  masalahnya hanya 20% populasi kita yang punya akses ke pendanaan, 80%nya tidak punya akses.  Bunga di Indonesia adalah 10-15 %,  di Malaysia 2%, Singapura 1,5% perbedaan sebesar 13% sudah menjadi kendala untuk kita bisa bersaing dengan siapapun di Asia Tenggara. Kesepakatan bagi Asia Tenggara, di akhir tahun 2015 pintu perdagangan dibuka lebar. Kita harus siap, contohnya kawan kita di Chiangmay bisa mengirim produknya ke Bandung, Cimahi, dsb. tanpa pengenaan tarif. Maka siapa yang kuat akan menang, bisakah produk kita bersaing dengan produk yang akan datang dari luar?

Asean Economic Community ini pelaksanaannya harus efektif di akhir tahun 2015. Kita sudah hidup dalam konteks yang sudah penuh dengan keterbukaan, maka harus memaksa diri untuk memperkuat diri kita agar bisa bersaing. Kita sudah masuk di koridor demokratisasi. Demokrasi hamya bisa berkelanjutan kalau ada kesejahteraan berkelanjutan.  Dekmokrasi tidak bisa membuahkan kemakmuran, namun kemakmuran hanya bisa membantu membuahkan demokarsi. Kita harus bisa membungkus proses demokratisasi, pertumbuhan ekonomi, pemekaran kesejahteraan, pemerataan kesajahteraan agar kawan di Sabang sama sejahteranya dengan di Merauke, bukan hanya di Jabotabek saja yang sejahtera.

Kita harus bisa membungkus dan bisa memproyeksikan ke tingkat internasional dengan bijak, kita harus tekad untuk menjadi bangsa modern, harus punya kekuatan manufaktur agar bisa menjadi eksportir yang efisien. Kekuatan pertanian agar menjadi eksportir yang efisien,  bukan hanya jadi produsen, tapi juga kebijakan yang dapat menopang sektor pertanian dan industri manufaktur bisa maju. Dalam 20 tahun kita harus bisa melakukannya, jika tidak bisa maka sangatlah membuang waktu. Ini adalah nukleus untuk membuahkan produk-produk yang membanggakan.

Demokrasi bukan hanya dalam konteks proses politik saja, tapi juga dalam proses konsumsi, dalam UU perlindungan konsumen secara eksplisit kita mempunyai hak dan kewajiban. Hak konsumen ada 8 termasuk hak memilih, hak mendapat pendidikan atas produksi barang jasa yang akan kita konsumsi, hak mendapat advokasi atas apa yang akan kita konsumsi, jangan sampai ditemukan pelanggaran seperti pada tahun 2012, ada lebih dari 600 produksi pangan yang melakukan pelanggaran, seperti pelanggaran karantina, penggunaan pewarna, penggunaan apapun, tidak ada ijin beredar, lebih dari ribuan produk non pangan yang melanggar aturan K3L. Konsumen juga memiliki hak untuk komplain, hal ini sangat bisa dikomunikasikan ke badan tertentu seperti Kementrian Perdagangan, juga ada hak kompensasi jika barang dan jasa tidak sesuai dengan aspirasi kita atau tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Inilah cerminan demokrasi dalam kontes konsumsi. 36 triliun dollar secara kumulatif adalah nilai yang akan dikonsumsi masyarakat Indonesia selama 20 tahun kedepan. Jika tidak mengeksplor hak dan kewajiban, kita akan menjadi bangsa yang berbudaya “murah kenyang”. Kita membeli barang yang murah lalu kenyang, tetapi besoknya kena maag, ginjal, dsb. Menteri kesehatan sudah melakukan studi di pasar yang tidak punya ijin beredar, ada Rumah sakit-rumah sakit, terlihat kasus penyakit yang kemungkinan berkorelasi dengan banyaknya aktivitas penjualan dan konsumsi barang yang tidak sesuai dengan peraturan. Dengan penggunaan teknologi lewat handphone, smartphone, maka bisa dilakukan publikasi lebih luas agar kita menjadi konsumen yang lebih bijak. Jika tidak, kita akan terus mengonsumsi produk yang membuat bangsa ini mundur. Kita harus semangat untuk memproduksi barang-barang yang bisa bersaing dan sesuai peraturan, kalau kita bisa bermimpi, mengambil sikap, hidup teladan dan disiplin sesuai hak dan kewajiban yang ada, maka kita bisa menjadi bangsa yang hebat dan kita  semua bisa bangga berbangsa.


Comments

Popular posts from this blog

Neocate